Totok Hedi Santosa: Pemerintah dan PT Garam Beda Standar, Pengaruhi Kualitas Garam Konsumsi
Anggota Komisi VI DPR RI, Totok Hedi Santosa, saat mengikuti Kunjungan Kerja Masa Reses (Kunres) Komisi VI DPR RI ke Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Foto: Anju/vel
PARLEMENTARIA, Surabaya – Anggota Komisi VI DPR RI, Totok Hedi Santosa, mengkritisi kebijakan pemerintah terkait standar nasional Indonesia (SNI) terkait kualitas garam. Menurutnya, terdapat perbedaan standardisasi yang ditentukan antara PT Garam dengan Pemerintah melalui Standar Nasional Indonesia (SNI). Kebijakan tersebut menciptakan paradoks yang memengaruhi kualitas garam yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.
“Saya kira, mereka (PT Garam) sudah membenahi diri dengan baik. Problemnya itu, justru terletak pada kebijakan pemerintah. Yang bagi saya, ini adalah paradoks,” ujar Totok kepada Parlementaria usai mengikuti Kunjungan Kerja Masa Reses (Kunres) Komisi VI DPR RI ke Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Jumat (06/12/2024).
Salah satu kebijakan paradoks pemerintah menurut Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu adalah standar kadar Natrium Klorida (NaCl) dalam SNI. Ia menyebut bahwa kadar NaCl yang sehat berada di angka 65 persen, tetapi pemerintah melalui SNI menetapkan standar hingga 94 persen, yang dinilainya tidak sesuai dengan realitas kebutuhan masyarakat.
“Misalnya, saya mau berbicara tentang kadar NaCl di dalam garam, itu untuk garam yang sehat, NaCl nya berkisar 65. Tetapi di pemerintah dalam hal ini, SNI memberikan syarat berjumlah 94,” ujarnya.
Terkait dampak kesehatan dan konsumsi masyarakat, Legislator Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini menegaskan bahwa carut-marut standar garam ini berdampak pada kesehatan masyarakat. Banyak garam yang beredar tidak memenuhi standar sebagai garam beryodium yang sehat, sehingga merugikan masyarakat yang mengandalkan garam sebagai kebutuhan pokok.
“Apa yang terjadi kemudian, yaitu carutamarut antara garam impor yang sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi, untuk menjadi garam beryodium yang sehat. Tetapi, menjadi campur baur,” tegas Totok.
Karena itu, Totok menyerukan pemerintah untuk segera mengevaluasi kebijakan standar garam nasional. Ia meminta agar standar yang diterapkan lebih realistis, mendukung industri lokal, dan memastikan bahwa produk yang dikonsumsi masyarakat aman serta berkualitas.
“Sehingga, masyarakat kita ini, banyak sekali mengkonsumsi garam tanpa standar kesehatan yang bagus, sehingga kalau kita sudah memiliki euforia yang tinggi, menyiapkan satu generasi yang akan sehat,” bebernya.
Kendati demikian, Ia menggarisbawahi pentingnya perhatian pemerintah terhadap kebijakan strategis yang memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan peninjauan ulang dan pengawasan yang lebih ketat, diharapkan kebijakan yang lebih baik dapat mendukung industri garam lokal serta memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat Indonesia.
"Sehingga, berpikirnya juga sehat, ini sebenarnya sebuah paradoks," tutupnya. (aas/rdn)